Syariat, Tarekat dan Hakekat
Sumber : "Kitab Kifayatu al-Atqiya Wa Minahju al-Ashfiya"
Resume Buku dengan Tema Syariah, Thariqah dan Haqiqah
Dalam Kitab Kafayatul Al-Atqiya Wa Minhaju Al-Ashfiya yang tidak lain ialah penjabaran dari kitab yang ditulis oleh ulama besar pengarang kitab Fathul Mu’in Syekh Zain al-Din, yaitu kitab Mandzumatu Hidayati Al-Adzkiya Ila Thoriqi Al-Auliya, membahas masalah Syariah, Thariqah Dan Haqiqah.
Dalam ungkapan nadhom (syair) dijelaskan:
إِنَّ الطَّرِيْقَ شَرِيْعَةٌ وَ طَرِيْقَةٌ وَ حَقِيْقَةٌ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِلَا
Artinya:
“Sesungguhnya
jalan (menuju Allah) itu harus melalui syariat, tarekat dan hakekat,
maka hendakalah engkau mendengarkan hal-hal yang akan diperumpamakan
berikut.”
Bagi salik
(penempuh jalan ruhani) akhirat, yaitu orang yang mampu menggabungkan
antara ketiga komponen di atas dan tidak memisahkan ketiganya, karena hakitat tanpa dibarengi dengan syariat itu bathil (tidak sah, sempurna), sedangkan syariat tanpa hakekat terhenti (‘athilah).
Perumpamaan yang pertama yakni berhakekat tanpa dibarengi dengan bersyariat ialah ibarat orang yang jika dikatakan kepadanya Sholli (Shalatlah kamu), maka dia akan menjawab perintah anda dengan kata laa haajata ila Shalat (aku tidak membutuhkan Shalat) karena sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan ialah udah ditetapkan pada masa azali (manusia sebelum dilahirkan), jika aku termasuk orang yang sa’idun (bahagia) maka aku akan masuk kedalam surga, meskipun aku tidak Shalat, atau aku akan masuk neraka meskipun aku Shalat (karena sudah ditentukan aku sengsara).
Perumpamaan yang kedua, yakni
bersyariat tanpa
berhakekat, ialah barangsiapa yang mengerjakan amalan hanya karena ingin masuk surga, maka dia akan berkata
kalaulah bukan karena amalanku yang telah aku kerjakan maka tidak mungkin akau akan masuk surga, hal ini yang dinamakan dengan
bersyariat tanpa
hakekat,
syariatnya orang tersebut adalah
athilatun (terhenti, tidak sampai kepada Allah), karena keberadaannya seperti ketiadaannya (
wujuduha ka ‘adamiha). Karena sesungguhnya orang yang masuk kedalam surga Allah, ialah orang yang mendapatkan
fadhilah (keutamaan) dari Allah (
bi fadhlillahi), sebagaimana termaktub didalam hadits Nabi Muhammad Saw.
Syariat ialah segala perintah yang mana diberikan kepada mukallaf (orang yang sudah baligh) oleh Allah untuk dijalankan dan segala larangan yang harus dijauhi.
Thariqah ialah berjalan bedasarkan dengan syariat Allah.
Hakekat
ialah melihat aspek batiniah dari berbagai perkara dan penyaksian
setiap perbuatan dari kehendak Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang
diajarkan kepada manusia melalui surat al-Fatihah ayat 5, yaitu: ”Iyyaka na’budu”
hanya kepada Engkaulah (Allah) kami menyembah. Dalam ayat ini
mendefinisikan Syariat itu, yakni kelihatan sebagai usaha yang dzahir
(nyata), yaitu perbuatan seorang hamba. Dan ayat selanjutnya “Wa iyyaka nasta’in” hanya
kepada kepada Engkaulah (Allah) kami memohon pertolongan. Dalam ayat
ini terlihat aspek hakekat, karena ayat itu mengisyaratkan bahwa hamba bari’un (terbebas) dari (haulun) daya dan (quwwatun) upaya dan (syuhudun)
penyaksian bahwa segala perbuatan, tidak akan bisa diperbuat ataupun
dikerjakan, melainkan dengan atas pertolongan Allah dan kekuatan-Nya.
Maka
istimbat (kesimpulan) dari hal di atas, wajib bagi seorang
salik
(pejalan ruhani) untuk menjalankan semua yang Allah perintahkan dan
menjauhi semua hal yang dilarang-Nya, akan tetapi handaknya ia tidak
semata-mata mengandalkan amalannya, bahwa amalan itulah yang akan
menyelamatkannya dari Neraka dan memasukkan dia ke dalam Surga, atau
kalau tidak karena amalannya maka tidaklah akan tercapai surga dan
terjauhi dari neraka, akan tetapi hendaknya manusia waspada dan
menyadari bahwa beramal ialah murni untuk memenuhi perintah Allah (
imtitsalan li amrihi) – maka hendaklah beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
, jika ia diberi pahala atas perbutannya, itu murni karena
fadhilah (keutamaan) dari Allah, dan jika ia diberi ‘
iqob
(siksaan) maka itu adalah murni kerena keadilan-Nya Maha Suci dan Maha
Tinggi, dan tidak meminta pahala dari apa yang ia kerjakan.
Hasan Al-Bashri
pernah berkata Ilmu Hakekat adalah meninggalkan keinginan penghayatan
terhadap pahala amal tanpa meninggalkan amalan tersebut untuk
dikerjakan. Berkata Ali K.W (
karomallahu wajhahu) barangsiapa
menyangka bahwa ia masuk surga tanpa dengan juhdun (kasungguhan beramal)
dia adalah sudah sempurna, dan barangsiapa menganggap masuk ke surga
dengan kesungguhan amal dia adalah kaku (tekstual. Bhs. Akademik).
Dikisahkan
bahwa ada seorang dari bani Isra’il menyembah Allah selama tujuh puluh
tahun lamanya dan ia meminta kepada Allah untuk bersama-sama dengan
malaikat (sebab merasa amalannya sudah cukup), maka Allah mengutus
kepadanya malaikat untuk memberitahukan bahwasannya ibadahnya itu tidak
sepadan dengan ganjaran surga, dan ketika sampai kabar tersebut,
berkatalah seorang ‘abid (hamba) tadi: “Kita diciptakan hanya untuk
ibadah maka sudah sepantasnya kita beribadah kepada-Nya,” maka ketika
malaikat itu kembali kepada Allah, malaikat itu berkata: Ya Tuhankau
Engkau (Allah) lebih mengetahui terhadap apa yang ia katakan tadi, maka
Allah Ta’ala berfirman: “Jika dia tidak menampakkan dari ibadannya, maka
sesungguhnya mulia dan sempurna, memang sebaiknya jika tidak
menampakkan ibadahnya, saksikanlah wahai para malaikat Aku (Allah) telah
mengampuninya.
فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيْقَةٌ كَاْلبَحْرِ ثُمَّ حَقِيْقَةٌ دَرُ غَلاَ
Artinya:
“Maka Syariat itu ibarat bahtera dan tarekat itu ibarat lautan kemudian hakekat itu ibarat negri yang makmur.”
Syariat
dalam istilah ahli tasawuf ada tiga bagian, maka permisalan syariat itu
ibarat seperti kapal karena sesungguhnya kapal tersebut ialah sebab
yang menyampaikan kita kepada maksud tujuan, dan permisalan tarekat
ialah sebagai lautan samudra, yang padanya jalan untuk mencapai tujuan
itu, sedangkan hakekat bagaikan negri yang banyak manfaatnya dan penuh
permata yang mulia. Maka tidaklah seseorang akan sampai kepada tempat
tersebut, yang tidak lain adalah negri keabadian, melainkan menempuh
perjalanan dengan melalui lautan samudra tersebut dan harus memakai
kapal laut untuk menjangkaunya, permisalan ketiga komponen (syariat,
tarekat dan hakekat) ialah ibarat pasangan yang tak terpisahkan satu
sama lain, syariat ibarat kulit, tarekat ibarat inti (biji), hakekat
ibarat minyak (yang terdapat di dalam kulit), tidak akan sampai kepada
minyak tanpa melalui biji dan tidak sampai ke biji kecuali melalui kulit
terlebih dahulu.
فَشَرِيْعَةٌ أَخْذُ بِدِيْنِ اْلخَالِقِ وَقِيَامُهُ بِاْلأَمْرِ وَالنَّهْىِ انْجِلَا
Artinya:
”Maka
syariat itu adalah mengikuti agama Sang Pencipta dan mematuhi apa yang
diperintah dan menjauhi apa yang dilarang dengan terbuka (tanpa pilah
pilih).”
Pembahasan
mengenai syariat dijelaskan juga oleh Syaikh Ali bin Haini R.A, Syariat
itu apa yang dituntutkan untuk orang muslim dan hakekat itu apa yang
dihaslilkan dengannya yakni ma’rifatullah (menyaksikan keberadaan Allah), maka syariat sangat dikuatkan dengan hakekat, dan hakekat manjadi faidah
(berarti) dengan adanya syariat, maka syariat adalah wujud perbuatan
untuk menyembah Allah dan menjalankannya dengan syarat-syarat keilmuan
dengan perantara Rasullallah, sedangkan hakekat ialah penyaksian
perbuatan itu hanya dengan Allah ta’ala dan menyerahkan diri karena
hukum yang sudah umum adanya dengan takdir (ketetapan) Allah ta’ala
tanpa perantara.
وَطَرِيْقَةٌ أَخْذُ بِأَحْوَاطٍ كَالْوَرَعِ وَعَزِيْمَةٍكَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلَا
Artinya
“Dan tarekat itu menjalani (syariat) dengan waspada seperti wara’, dan bersungguh-sungguh sebagaimana latihan diri dalam beribadah.”
Pembahasan mengenai tarekat adalah berhati-hati sebagaimana wara’ (hati-hati), dan bertekat kuat (‘azimah) sebagaimana Riyadhoh nafsi (melatih diri) dalam ibadah.
Lebih
jauh makna tarekat menurut istilah para ahli tasawuf menjaga dalam
kehati-hatian dalam segala amal ibadah dan tidak memandang
rukhsah (keringanan) sebagaimana orang
wara’.
Dikisahkan bahwa Malik ibn Dinar bertempat tinggal di Bashrah selama empat puluh tahun dia tidak pernah memakan (tamer)
kurma kering maupun yang sudah matang dari penduduk Bashrah, sehingga
ia meninggal dunia dan tidak pernah mencicipinya, dan ketika penduduk
Bashrah berkata kepada Ibrahim bin Adham “ Apakah engkau tidak mau minum
air zamzam?”, belau berkata: jika aku punya ember aku akan minum.
Bertekat
dan besungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah ialah seperti latihan
memerangi hawa nafsu, dan mengarahkannya kepada sesuatu hal yang Allah
inginkan dari makhluknya, seperti bangun malam, lapar, zuhud, sedikit
bicara, uzlah (meninggalkan kemegahan dunia), meninggalkan hal-hal yang
mutasyabihat
(belum jelas halal dan haramnya) dan dari segala perkara yang
mendekatkan hamba kepada Allah SWT, berkata Hasan al-Fuzaz : Dibangun
perkara ini atas tiga hal, yaitu janganlah engkau makan kecuali ketika
sudah lapar sekali, dan janganlah engkau tidur kecuali ketika engkau
telah lupa, dan janganlah engkau berbicara kecuali dalam keadaan
terpaksa, itulah makna dari hadits Nabi : “Min husni islami mar’i
tarkuhu ma laa ya’nihi.”
وَحَقِيْقَةٌ لِوُصُوْلِهِ لِلْمَقْصُدِ وَمُشَاهِدٌ نُوْرَ التَّجَلِّى بِانْجِلَى
Artinya:
“Dan
Hakekat adalah sampainya salik (pejalan ruhani) kepada maksud tujuan,
dan menyaksikan cahaya tajalli dengan terang benderang”
Sesungguhnya hakekat itu adalah sampainya seorang salik kepada maksud tujuan perjalanan ruhaninya yatitu ma’rifatullah (mengenal Allah), dan Musyahadah (penyaksaian) terhadap cahaya tajalli. Berkata al-Ghazali: “Tajalli
ialah tersingkapnya hati dari cahaya-cahaya ghaib, dan yang dimaksud
dengan tajalli di sini adalah Allah SWT itu sendiri, sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh al-Qusyairi perbedaan antara syariat dan hakekat
ialah jika syariat itu kewajiban untuk menjalankan ubudiyah
(peribadatan), sedangkan hakekat itu Musyahadah (penyaksian) rububiyah
atau melihat-Nya kepada Ibadah dengan Hati.
مَنْ رَامَ دَراً لِلسَّفِيْنَةِ يَرْكَبْ وَيَغُوْصُ بَحْرًا ثُمَّ دَرًا حَصُلاَ
Artinya:
“Barangsiapa
menginginkan Dar (mutiara) maka harus menaiki bahtera dan menyelam
kedalam lautan kemudian dapatalah ia Dar (mutiara).”
Bait
ini menerangkan kita akan tertibnya perjalanan ruhani seseorang yakni
diawali dengan syariat, kemudian tarekat, lalu hakekat. Ketiganya adalah
komponen yang harus ditempuh, jika urutan ini diabaikan maka tidak akan
sampai kepada Allah.
Ilustrasi
yang disuguhkan ialah ketika kita ingin mencari sebuah mutiara yang
sangat berharga nilainya, maka mula-mula yang harus kita lakukan ialah
menaiki kapal dan mengarungi samudra, kemudian ditengah samudra kita
menyelam dan semakin dalam kita menyelam maka kita akan semakin
menyaksikan betapa indahnya alam bawah lautan, dan juga pada akhirnya
sampailah kita kepada tujuan yang hakiki yaitu mendapatkan mutiara yang
sangat indah, yang tidak lain adanya melainkan di dasar laut yang paling
dalam. Ibaratnya adalah kita akan menjumpai hakekat kebenaran yaitu
Allah yang Maha Tinggi itu, hanya saja dengan memurnikan ketaatan
kapadanya, kita akan melihat berbagai keindahan di alam mitsal, akan
tetapi pada puncaknya keindahan itu hanyalah Allah SWT.
وَكَذَا الطَّرِيْقَةُ وَاْلَحقِيْقَةُ يَاأَخِي مِنْ غَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تَحْصُلَا
Artinya:
“Dan
juga tarekat dan hakekat itu wahai sudaraku, jika tanpa dibarengi
dengan menjalankan syariat maka tidak akan sampai (pada tujuan
ma’rifatullah).”
Inilah
inti dari perumpamaan sebelumnya, yang bermakna bahwa tarekat dan
hakekat itu keduanya terhenti atau harus berpondasikan dengan syariat,
maka keduanya tidak akan bisa (mustaqimani) berdiri lurus, dan
keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa dengan syariat, oleh
karena itu seorang mu’min apabila telah naik derajatnya dan telah
diangkat martabatnya menjadi bagian dari wali-wali Allah sekalipun,
tidaklah menjadi gugur kewajiban ibadah fardhu dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Dan barangsiapa yang meyakini bahwa siapa yang telah menjadi
wali dan sampai pada derajat hakekat, gugur padanya kewajiban syariat
maka dia adalah sesat dan menyesatkan. Nabi saja yang pada hakekatnya
derajatnya lebih utama dari para wali, tidak gugur kewajiban ibadah
terhadapnya. Nabi Muhammad Saw pernah Shalat sampai kakinya bengkak,
kemudian ditanya oleh seorang istrinya, bukankah dirimu telah diampuni
dosamu yang lalu dan yang akan datang?, maka ia manjawab: “Tidakkah aku
patut menjadi hamba yang selalu bersyukur.” Hal itu tidak lain karena
ibadah itu wajib bagi setiap umat manusia tanpa terkecuali seorang nabi
sekalipun. Kewajiban ibadah untuk hak rububiayah dan untuk hak syukur
nikmat, dan para wali wilayah tidak keluar dari batasan-batasan ubudiyah
dan tidak terlepas pula meskipun dia selalu diberi nikmat.
فَعَلَيْهِ تَزْيِيْنَ لِظَاهِرِهِ الْجَلَى بِشَرِيْعَةٍ لِيَنُوْرَ قَلْبٍ مُجْتَلَا
وَتَزُوْلَ عَنْهُ ظُلْمَةً كَىْ يُمْكِنَا لِطَرِيْقَةٍ فِي قَلْبِهِ أَنْ تَنْزُلَا
Artinya:
“Maka
hendaklah menghiasi pada zahirnya yang jelas dengan syariat untuk
supaya hati terang benderang, dan lepas darinya kegelapan, supaya
memungkinkan tarekat bisa memasuki hatinya.”
Jika tarekat dan hakekat itu bertumpu pada syariat maka wajib bagi serorang
salik (pejalan ruhani) untuk menghiasi
zahirnya dengan syariat itu, atau dalam kata lain syariat itu sebagai penerang hatinya dengan
nur syariat (cahaya syariat) maka akan lepas daripadanya (
dzulmatun) kegelapan
maksiat karena sesungguhnya
maksiat itu kegelapan yang naik kepada hati sebagaimana ketaatan adalah cayaha yang naik kepada hati.
وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ طَرِيْقٌ مِنْ طُرُقٍ يَخْتَارُهُ فَيَكُوْنُ مَنْ ذاَ وَاصِلَا
كَجُلُوْسٍ بَيْنَ اْلأَنَامِ مُرَبِّيًا وَكَكَثْرَةِ اْلأَوْرَادِ كَالصَّوْمِ وَالصَّلَا
وَكَخِدْمَةٍ لِلنَّاسِ وَالْحَمْلِ اْلخِطَبِ لِتَصَدُّقٍ بِمَحْصَلٍ مُتَمَوِّلَا
Artinya:
“Dan
dari setiap ulama tasawuf itu memiliki tarekat dari tarekat-tarekat
yang ia pilih, maka akan sampai (kepada Allah) dari memiliki
perantaraan, yaitu seperti duduk di antara manusia dengan mengajar, dan
sepeti memperbanyak aurod yaitu mislanya puasa dan Shalat (sunnah), dan
juga seperti khidmah (memabntu) kepada manusia dan seperti membawa kayu
bakar untuk disedekahkan dengan hasil modal yang ia dapatkan.”
Bahwasanya
tarekat itu sangatlah banyak sebagaimana kita jumpai di masa sekarang,
ada tarekat TQN (Tarekat Qadiriah dan naqsabandiah), tareka Sanusiah,
tarekat Tijaniah dan lain-lain dari tarekat-tarekat yang ada di dunia.
Semuanya adalah jalan yang menyampaikan seorang salik (pejalan ruhani) kepada Allah SWT, maka tarekat yang mana saja boleh kita anut, karena itu merupakan jalan menuju Allah.
Pengarang kitab menyebutkan beberapa cara bertarekat yaitu diantaranya ialah:
a. Duduk di antara manusia dan memberikan pengajaran dan pendidikan untuk beribadah kepada Allah dan akhlak mulia.
Imam
Ghazali r.a berkata barangsiapa yang mengajar dan beramal, maka dia
adalah orang yang diseru sebagai orang mulia oleh malaikat-malaikat
langit, karena sesunggunya ia laksana sang surya yang menyinari apa yang
ada di dunia, dan matahari itu bersinar dalam dirinya, dan laksana
minyak misik yang bisa menjadikan wangi benda lain, sedangkan dirinya
sendiri adalah wangi dst.
b. Memperbanyak
aurod atau berbagi kewajiban ibadah dari shalat, puasa, dan membaca
al-qur’an dan bertasbih dan ini adalah dari derajat tajarrud (hanya)
dalam aspek ibadah dan dari tarekatnya orang-orang shaleh.
c. Dan khidmah kepada masyarakat seperti menjadi pemuka agama, ahli tasawuf, ahli fikih.
Hal yang ketiga ini lebih utama daripada menjalankan ibadah sunnah semata, karena khidmah
kepada masyarakat selain ibadah dia juga meolong sesema umat Islam.
Berkata Syekh Abdul Qodir Jailani r.a: “Engkau tidak akan sampai kepada
Allah ta’ala dengan qiyam lail (Shalat malam: tahjjud) dan tidak
pula dengan puasa sunnah di siang hari, akan tetapi engkau akan sampai
kepada Allah ta’ala dengan perilaku mulia terhadap manusia dan tawadhu’ (rendah hati), serta ketulusan dada (hati).”
d. Membawa kayu bakar dan menjualnya kemudian hasil dari penjualan kayu bakar itu disedekahkan kepada orang yang membutuhkannya.
Hal
yang keempat ini adalah ibadah sunnah yang dapat menyampaikan kita
kepada Allah, karena dengan berkah doa-doa orang muslim yang kita bantu
meringankan beban hidupnya.
Jika
kita melihat Agama Islam yang diajarkan Allah kepada manusia malalui
perantaraan Nabi Muhammad Saw, ialah ibadah yang bermula theosentris kepada Allah semata dan juga dibarengi dengan ibada antroposentris kepada menolong sesama manusia.
Contohnya ialah:
a. Shalat
kita memulai dengan takbir kepada Allah semata dan diakhiri dengan
salam yang tidak lain itu adalah sebagai doa untuk semua umat Islam yang
melaksanakan shalat.
b. Puasa
Ramadhan, dimulai dengan berpuasa sebulan penuh yang tidak lain ialah
ibadah kepada Allah semata, dan diakhiri dengan zakat fitrah, yakni
membantu sesama umat Islam.
Berbagai
aspek peribadahan yang ada dalam agama islam, menerangkan bahwa tarekat
(jalan menuju Allah) dalam menjalankan syariat itu bermula dari
menyembah Allah (Theosentris) dan berujung pada ibadah sosial (Antroposentris).
Jadi
jika demikian tarekat yang sesungguhnya ialah orang yang melaksanakan
syariat itu sendiri dengan memurnikan ketaatan kepada Allah semata,
kemudian dia juga hendaknya memperhatiakan aspek kemasyarakatan, atau
berbaur dengan masyarakat, sebagaimana Rasulallah Saw, ia melakukan
uzlah dan kembali kepada masyarakat untuk mengajarkan agama Allah SWT.
Bukan
hanya orang yang berdiam diri di masjid tanpa berusaha untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya, dan membantu sesama umat islam, akan tetapi
beribadah yang sungguh-sunggu murni ketaatan kepada Allah dan menolong
sesama manusia untuk beribadah kepada Allah semata.
Allah berfirman dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2:
Artinya:
.........Saling
tolong menolonglah kalian kepada ketaatan (ibadah) dan ketakwaan. Dan
janganlah kalin salaing membantu terhadap perbuatan dosa dan permusuhan,
dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah sangatlah keras
siksaannya. (Q.S al-Maidah: 2).