efek salju

Selasa, 19 Februari 2013

hakikat,syariat,&tarekat

Syariat, Tarekat dan Hakekat

Sumber : "Kitab Kifayatu al-Atqiya Wa Minahju al-Ashfiya"
Resume Buku dengan Tema Syariah, Thariqah dan Haqiqah
Dalam Kitab Kafayatul Al-Atqiya Wa Minhaju Al-Ashfiya yang tidak lain ialah penjabaran dari kitab yang ditulis oleh ulama besar pengarang kitab Fathul Mu’in Syekh Zain al-Din, yaitu kitab Mandzumatu Hidayati Al-Adzkiya Ila Thoriqi Al-Auliya, membahas masalah Syariah, Thariqah Dan Haqiqah.
Dalam ungkapan nadhom (syair) dijelaskan:
إِنَّ الطَّرِيْقَ شَرِيْعَةٌ وَ طَرِيْقَةٌ وَ حَقِيْقَةٌ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِلَا
Artinya:
Sesungguhnya jalan (menuju Allah) itu harus melalui syariat, tarekat dan hakekat, maka hendakalah engkau mendengarkan hal-hal yang akan diperumpamakan berikut.
Bagi salik (penempuh jalan ruhani) akhirat, yaitu orang yang mampu menggabungkan antara ketiga komponen di atas dan tidak memisahkan ketiganya, karena hakitat tanpa dibarengi dengan syariat itu bathil (tidak sah, sempurna), sedangkan syariat tanpa hakekat terhenti (‘athilah).
Perumpamaan yang pertama yakni berhakekat tanpa dibarengi dengan bersyariat ialah ibarat orang yang jika dikatakan kepadanya Sholli (Shalatlah kamu), maka dia akan menjawab perintah anda dengan kata laa haajata ila Shalat (aku tidak membutuhkan Shalat) karena sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan ialah udah ditetapkan pada masa azali (manusia sebelum dilahirkan), jika aku termasuk orang yang sa’idun (bahagia) maka aku akan masuk kedalam surga, meskipun aku tidak Shalat, atau aku akan masuk neraka meskipun aku Shalat (karena sudah ditentukan aku sengsara).
Perumpamaan yang kedua, yakni bersyariat tanpa berhakekat, ialah barangsiapa yang mengerjakan amalan hanya karena ingin masuk surga, maka dia akan berkata kalaulah bukan karena amalanku yang telah aku kerjakan maka tidak mungkin akau akan masuk surga, hal ini yang dinamakan dengan bersyariat tanpa hakekat, syariatnya orang tersebut adalah athilatun (terhenti, tidak sampai kepada Allah), karena keberadaannya seperti ketiadaannya (wujuduha ka ‘adamiha). Karena sesungguhnya orang yang masuk kedalam surga Allah, ialah orang yang mendapatkan fadhilah (keutamaan) dari Allah (bi fadhlillahi), sebagaimana termaktub didalam hadits Nabi Muhammad Saw. 
Syariat ialah segala perintah yang mana diberikan kepada mukallaf (orang yang sudah baligh) oleh Allah untuk dijalankan dan segala larangan yang harus dijauhi.
Thariqah ialah berjalan bedasarkan dengan syariat Allah.
Hakekat ialah melihat aspek batiniah dari berbagai perkara dan penyaksian setiap perbuatan dari kehendak Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang diajarkan kepada manusia melalui surat al-Fatihah ayat 5, yaitu: ”Iyyaka na’budu” hanya kepada Engkaulah (Allah) kami menyembah. Dalam ayat ini mendefinisikan Syariat itu, yakni kelihatan sebagai usaha yang dzahir (nyata), yaitu perbuatan seorang hamba. Dan ayat selanjutnya “Wa iyyaka nasta’in” hanya kepada kepada Engkaulah (Allah) kami memohon pertolongan. Dalam ayat ini terlihat aspek hakekat, karena ayat itu mengisyaratkan bahwa hamba bari’un (terbebas) dari (haulun)  daya dan (quwwatun) upaya dan (syuhudun) penyaksian bahwa segala perbuatan, tidak akan bisa diperbuat ataupun dikerjakan, melainkan dengan atas pertolongan Allah dan kekuatan-Nya.
Maka istimbat (kesimpulan) dari hal di atas, wajib bagi seorang salik (pejalan ruhani) untuk menjalankan semua yang Allah perintahkan dan menjauhi semua hal yang dilarang-Nya, akan tetapi handaknya ia tidak semata-mata mengandalkan amalannya, bahwa amalan itulah yang akan menyelamatkannya dari Neraka dan memasukkan dia ke dalam Surga, atau kalau tidak karena amalannya maka tidaklah akan tercapai surga dan terjauhi dari neraka, akan tetapi hendaknya manusia waspada dan menyadari bahwa beramal ialah murni untuk memenuhi perintah Allah (imtitsalan li amrihi) – maka hendaklah beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya[2], jika ia diberi pahala atas perbutannya, itu murni karena fadhilah (keutamaan) dari Allah, dan jika ia diberi ‘iqob (siksaan) maka itu adalah murni kerena keadilan-Nya Maha Suci dan Maha Tinggi, dan tidak meminta pahala dari apa yang ia kerjakan.
Hasan Al-Bashri pernah berkata Ilmu Hakekat adalah meninggalkan keinginan penghayatan terhadap pahala amal tanpa meninggalkan amalan tersebut untuk dikerjakan. Berkata Ali K.W (karomallahu wajhahu) barangsiapa menyangka bahwa ia masuk surga tanpa dengan juhdun (kasungguhan beramal) dia adalah sudah sempurna, dan barangsiapa menganggap masuk ke surga dengan kesungguhan amal dia adalah kaku (tekstual. Bhs. Akademik).
Dikisahkan bahwa ada seorang dari bani Isra’il menyembah Allah selama tujuh puluh tahun lamanya dan ia meminta kepada Allah untuk bersama-sama dengan malaikat (sebab merasa amalannya sudah cukup), maka Allah mengutus kepadanya malaikat untuk memberitahukan bahwasannya ibadahnya itu tidak sepadan dengan ganjaran surga, dan ketika sampai kabar tersebut, berkatalah seorang ‘abid (hamba) tadi: “Kita diciptakan hanya untuk ibadah maka sudah sepantasnya kita beribadah kepada-Nya,” maka ketika malaikat itu kembali kepada Allah, malaikat itu berkata: Ya Tuhankau Engkau (Allah) lebih mengetahui terhadap apa yang ia katakan tadi, maka Allah Ta’ala berfirman: “Jika dia tidak menampakkan dari ibadannya, maka sesungguhnya mulia dan sempurna, memang sebaiknya jika tidak menampakkan ibadahnya, saksikanlah wahai para malaikat Aku (Allah) telah mengampuninya.
فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيْقَةٌ كَاْلبَحْرِ ثُمَّ حَقِيْقَةٌ دَرُ غَلاَ
Artinya:
“Maka Syariat itu ibarat bahtera dan tarekat itu ibarat lautan kemudian hakekat itu ibarat negri yang makmur.”
Syariat dalam istilah ahli tasawuf ada tiga bagian, maka permisalan syariat itu ibarat seperti kapal karena sesungguhnya kapal tersebut ialah sebab yang menyampaikan kita kepada maksud tujuan, dan permisalan tarekat ialah sebagai lautan samudra, yang padanya jalan untuk mencapai tujuan itu, sedangkan hakekat bagaikan negri yang banyak manfaatnya dan penuh permata yang mulia. Maka tidaklah seseorang akan sampai kepada tempat tersebut, yang tidak lain adalah negri keabadian, melainkan menempuh perjalanan dengan melalui lautan samudra tersebut dan harus memakai kapal laut untuk menjangkaunya, permisalan ketiga komponen (syariat, tarekat dan hakekat) ialah ibarat pasangan yang tak terpisahkan satu sama lain, syariat ibarat kulit, tarekat ibarat inti (biji), hakekat ibarat minyak (yang terdapat di dalam kulit), tidak akan sampai kepada minyak tanpa melalui biji dan tidak sampai ke biji kecuali melalui kulit terlebih dahulu. 
فَشَرِيْعَةٌ أَخْذُ بِدِيْنِ اْلخَالِقِ وَقِيَامُهُ بِاْلأَمْرِ وَالنَّهْىِ انْجِلَا
Artinya:
”Maka syariat itu adalah mengikuti agama Sang Pencipta dan mematuhi apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang dengan terbuka (tanpa pilah pilih).”
Pembahasan mengenai syariat dijelaskan juga oleh Syaikh Ali bin Haini R.A, Syariat itu apa yang dituntutkan untuk orang muslim dan hakekat itu apa yang dihaslilkan dengannya yakni ma’rifatullah (menyaksikan keberadaan Allah), maka syariat sangat dikuatkan dengan hakekat, dan hakekat manjadi faidah (berarti) dengan adanya syariat, maka syariat adalah wujud perbuatan untuk menyembah Allah dan menjalankannya dengan syarat-syarat keilmuan dengan perantara Rasullallah, sedangkan hakekat ialah penyaksian perbuatan itu hanya dengan Allah ta’ala dan menyerahkan diri karena hukum yang sudah umum adanya dengan takdir (ketetapan) Allah ta’ala tanpa perantara.
وَطَرِيْقَةٌ أَخْذُ بِأَحْوَاطٍ كَالْوَرَعِ وَعَزِيْمَةٍكَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلَا
Artinya
“Dan tarekat itu  menjalani (syariat) dengan waspada seperti wara’, dan bersungguh-sungguh sebagaimana latihan diri dalam beribadah.”
Pembahasan mengenai tarekat adalah berhati-hati sebagaimana wara’ (hati-hati), dan bertekat kuat (‘azimah) sebagaimana Riyadhoh nafsi (melatih diri) dalam ibadah.
Lebih jauh makna tarekat menurut istilah para ahli tasawuf menjaga dalam kehati-hatian dalam segala amal ibadah dan tidak memandang rukhsah (keringanan) sebagaimana orang wara’.
Dikisahkan bahwa Malik ibn Dinar bertempat tinggal di Bashrah selama empat puluh tahun dia tidak pernah memakan (tamer) kurma kering maupun yang sudah matang dari penduduk Bashrah, sehingga ia meninggal dunia dan tidak pernah mencicipinya, dan ketika penduduk Bashrah berkata kepada Ibrahim bin Adham “ Apakah engkau tidak mau minum air zamzam?”, belau berkata: jika aku punya ember aku akan minum.
Bertekat dan besungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah ialah seperti latihan memerangi hawa nafsu, dan mengarahkannya kepada sesuatu hal yang Allah inginkan dari makhluknya, seperti bangun malam, lapar, zuhud, sedikit bicara, uzlah (meninggalkan kemegahan dunia), meninggalkan hal-hal yang mutasyabihat (belum jelas halal dan haramnya) dan dari segala perkara yang mendekatkan hamba kepada Allah SWT, berkata Hasan al-Fuzaz : Dibangun perkara ini atas tiga hal, yaitu janganlah engkau makan kecuali ketika sudah lapar sekali, dan janganlah engkau tidur kecuali ketika engkau telah lupa, dan janganlah engkau berbicara kecuali dalam keadaan terpaksa, itulah makna dari hadits Nabi : “Min husni islami mar’i tarkuhu ma laa ya’nihi.”

وَحَقِيْقَةٌ لِوُصُوْلِهِ لِلْمَقْصُدِ وَمُشَاهِدٌ نُوْرَ التَّجَلِّى بِانْجِلَى
Artinya:
“Dan Hakekat adalah sampainya salik (pejalan ruhani) kepada maksud tujuan, dan menyaksikan cahaya tajalli dengan terang benderang”
Sesungguhnya hakekat itu adalah sampainya seorang salik kepada maksud tujuan perjalanan ruhaninya yatitu ma’rifatullah (mengenal Allah), dan Musyahadah (penyaksaian) terhadap cahaya tajalli. Berkata al-Ghazali: “Tajalli ialah tersingkapnya hati dari cahaya-cahaya ghaib, dan yang dimaksud dengan tajalli di sini adalah Allah SWT itu sendiri, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-Qusyairi perbedaan antara syariat dan hakekat ialah jika syariat itu kewajiban untuk menjalankan ubudiyah (peribadatan), sedangkan hakekat itu Musyahadah (penyaksian) rububiyah atau melihat-Nya kepada Ibadah dengan Hati.
مَنْ رَامَ دَراً لِلسَّفِيْنَةِ يَرْكَبْ وَيَغُوْصُ بَحْرًا ثُمَّ دَرًا حَصُلاَ
Artinya:
“Barangsiapa menginginkan Dar (mutiara) maka harus menaiki bahtera dan menyelam kedalam lautan kemudian dapatalah ia Dar (mutiara).”
Bait ini menerangkan kita akan tertibnya perjalanan ruhani seseorang yakni diawali dengan syariat, kemudian tarekat, lalu hakekat. Ketiganya adalah komponen yang harus ditempuh, jika urutan ini diabaikan maka tidak akan sampai kepada Allah.
Ilustrasi yang disuguhkan ialah ketika kita ingin mencari sebuah mutiara yang sangat berharga nilainya, maka mula-mula yang harus kita lakukan ialah menaiki kapal dan mengarungi samudra, kemudian ditengah samudra kita menyelam dan semakin dalam kita menyelam maka kita akan semakin menyaksikan betapa indahnya alam bawah lautan, dan juga pada akhirnya sampailah kita kepada tujuan yang hakiki yaitu mendapatkan mutiara yang sangat indah, yang tidak lain adanya melainkan di dasar laut yang paling dalam. Ibaratnya adalah kita akan menjumpai hakekat kebenaran yaitu Allah yang Maha Tinggi itu, hanya saja dengan memurnikan ketaatan kapadanya, kita akan melihat berbagai keindahan di alam mitsal, akan tetapi pada puncaknya keindahan itu hanyalah Allah SWT.
وَكَذَا الطَّرِيْقَةُ وَاْلَحقِيْقَةُ يَاأَخِي مِنْ غَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تَحْصُلَا
Artinya:
“Dan juga tarekat dan hakekat itu wahai sudaraku, jika tanpa dibarengi dengan menjalankan syariat maka tidak akan sampai (pada tujuan ma’rifatullah).”
Inilah inti dari perumpamaan sebelumnya, yang bermakna bahwa tarekat dan hakekat itu keduanya terhenti atau harus berpondasikan dengan syariat, maka keduanya tidak akan bisa (mustaqimani) berdiri lurus, dan keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa dengan syariat, oleh karena itu seorang mu’min apabila telah naik derajatnya dan telah diangkat martabatnya menjadi bagian dari wali-wali Allah sekalipun, tidaklah menjadi gugur kewajiban ibadah fardhu dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dan barangsiapa yang meyakini bahwa siapa yang telah menjadi wali dan sampai pada derajat hakekat, gugur padanya kewajiban syariat maka dia adalah sesat dan menyesatkan. Nabi saja yang pada hakekatnya derajatnya lebih utama dari para wali, tidak gugur kewajiban ibadah terhadapnya. Nabi Muhammad Saw pernah Shalat sampai kakinya bengkak, kemudian ditanya oleh seorang istrinya, bukankah dirimu telah diampuni dosamu yang lalu dan yang akan datang?, maka ia manjawab: “Tidakkah aku patut menjadi hamba yang selalu bersyukur.” Hal itu tidak lain karena ibadah itu wajib bagi setiap umat manusia tanpa terkecuali seorang nabi sekalipun. Kewajiban ibadah untuk hak rububiayah dan untuk hak syukur nikmat, dan para wali wilayah tidak keluar dari batasan-batasan ubudiyah dan tidak terlepas pula meskipun dia selalu diberi nikmat.
فَعَلَيْهِ تَزْيِيْنَ لِظَاهِرِهِ الْجَلَى بِشَرِيْعَةٍ لِيَنُوْرَ قَلْبٍ مُجْتَلَا
وَتَزُوْلَ عَنْهُ ظُلْمَةً كَىْ يُمْكِنَا لِطَرِيْقَةٍ فِي قَلْبِهِ أَنْ تَنْزُلَا
Artinya:
“Maka hendaklah menghiasi pada zahirnya yang jelas dengan syariat untuk supaya hati terang benderang, dan lepas darinya kegelapan, supaya memungkinkan tarekat bisa memasuki hatinya.”
Jika tarekat dan hakekat itu bertumpu pada syariat maka wajib bagi serorang salik (pejalan ruhani) untuk menghiasi zahirnya dengan syariat itu, atau dalam kata lain syariat itu sebagai penerang hatinya dengan nur syariat (cahaya syariat) maka akan lepas daripadanya (dzulmatun) kegelapan maksiat karena sesungguhnya maksiat itu kegelapan yang naik kepada hati sebagaimana ketaatan adalah cayaha yang naik kepada hati.
وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ طَرِيْقٌ مِنْ طُرُقٍ يَخْتَارُهُ فَيَكُوْنُ مَنْ ذاَ وَاصِلَا
كَجُلُوْسٍ بَيْنَ اْلأَنَامِ مُرَبِّيًا وَكَكَثْرَةِ اْلأَوْرَادِ كَالصَّوْمِ وَالصَّلَا
وَكَخِدْمَةٍ لِلنَّاسِ وَالْحَمْلِ اْلخِطَبِ لِتَصَدُّقٍ بِمَحْصَلٍ مُتَمَوِّلَا                     
Artinya:
“Dan dari setiap ulama tasawuf itu memiliki tarekat dari tarekat-tarekat yang ia pilih, maka akan sampai (kepada Allah) dari memiliki perantaraan, yaitu seperti duduk di antara manusia dengan mengajar, dan sepeti memperbanyak aurod yaitu mislanya puasa dan Shalat (sunnah), dan juga seperti khidmah (memabntu) kepada manusia dan seperti membawa kayu bakar untuk disedekahkan dengan hasil modal yang ia dapatkan.”
Bahwasanya tarekat itu sangatlah banyak sebagaimana kita jumpai di masa sekarang, ada tarekat TQN (Tarekat Qadiriah dan naqsabandiah), tareka Sanusiah, tarekat Tijaniah dan lain-lain dari tarekat-tarekat yang ada di dunia. Semuanya adalah jalan yang menyampaikan seorang salik (pejalan ruhani) kepada Allah SWT, maka tarekat yang mana saja boleh kita anut, karena itu merupakan jalan menuju Allah.
Pengarang kitab menyebutkan beberapa cara bertarekat yaitu diantaranya ialah:
a.       Duduk di antara manusia dan memberikan pengajaran dan pendidikan untuk beribadah kepada Allah dan akhlak mulia.
 Imam Ghazali r.a berkata barangsiapa yang mengajar dan beramal, maka dia adalah orang yang diseru sebagai orang mulia oleh malaikat-malaikat langit, karena sesunggunya ia laksana sang surya yang menyinari apa yang ada di dunia, dan matahari itu bersinar dalam dirinya, dan laksana minyak misik yang bisa menjadikan wangi benda lain, sedangkan dirinya sendiri adalah wangi dst.
b.      Memperbanyak aurod atau berbagi kewajiban ibadah dari shalat, puasa, dan membaca al-qur’an dan bertasbih dan ini adalah dari derajat tajarrud (hanya)
dalam aspek ibadah dan dari tarekatnya orang-orang shaleh.
c.       Dan khidmah kepada masyarakat seperti menjadi pemuka agama, ahli tasawuf, ahli fikih.
Hal yang ketiga ini lebih utama daripada menjalankan ibadah sunnah semata, karena khidmah kepada masyarakat selain ibadah dia juga meolong sesema umat Islam. Berkata Syekh Abdul Qodir Jailani r.a: “Engkau tidak akan sampai kepada Allah ta’ala dengan qiyam lail (Shalat malam: tahjjud) dan tidak pula dengan puasa sunnah di siang hari, akan tetapi engkau akan sampai kepada Allah ta’ala dengan perilaku mulia terhadap manusia dan tawadhu’ (rendah hati), serta ketulusan dada (hati).”
d.      Membawa kayu bakar dan menjualnya kemudian hasil dari penjualan kayu bakar itu disedekahkan kepada orang yang membutuhkannya.
Hal yang keempat ini adalah ibadah sunnah yang dapat menyampaikan kita kepada Allah, karena dengan berkah doa-doa orang muslim yang kita bantu meringankan beban hidupnya.
Jika kita melihat Agama Islam yang diajarkan Allah kepada manusia malalui perantaraan Nabi Muhammad Saw, ialah ibadah yang bermula theosentris kepada Allah semata dan juga dibarengi dengan ibada antroposentris kepada menolong sesama manusia.
Contohnya ialah:
a.       Shalat kita memulai dengan takbir kepada Allah semata dan diakhiri dengan salam yang tidak lain itu adalah sebagai doa untuk semua umat Islam yang melaksanakan shalat.
b.      Puasa Ramadhan, dimulai dengan berpuasa sebulan penuh yang tidak lain ialah ibadah kepada Allah semata, dan diakhiri dengan zakat fitrah, yakni membantu sesama umat Islam.
Berbagai aspek peribadahan yang ada dalam agama islam, menerangkan bahwa tarekat (jalan menuju Allah) dalam menjalankan syariat itu bermula dari menyembah Allah (Theosentris) dan berujung pada ibadah sosial (Antroposentris).
Jadi jika demikian tarekat yang sesungguhnya ialah orang yang melaksanakan syariat itu sendiri dengan memurnikan ketaatan kepada Allah semata, kemudian dia juga hendaknya memperhatiakan aspek kemasyarakatan, atau berbaur dengan masyarakat, sebagaimana Rasulallah Saw, ia melakukan uzlah dan kembali kepada masyarakat untuk mengajarkan agama Allah SWT.
Bukan hanya orang yang berdiam diri di masjid tanpa berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan membantu sesama umat islam, akan tetapi beribadah yang sungguh-sunggu murni ketaatan kepada Allah dan menolong sesama manusia untuk beribadah kepada Allah semata.
Allah berfirman dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2:  
Artinya:
.........Saling tolong menolonglah kalian kepada ketaatan (ibadah) dan ketakwaan. Dan janganlah kalin salaing membantu terhadap perbuatan dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah sangatlah keras siksaannya. (Q.S al-Maidah: 2).





 Imama Nawawi al-jawi menerangkan bahwa sesungguhnya tarekat yang menyampaikan kita kepada Allah atas tiga perkara (syariat, tharikat dan hakikat), yaitu dalam istilah syariat disebutkan: “ manjalankan segala hal yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan adapun tharikat ialah mengikuti segala perbuatan Nabi dan mengamalkannya.” Hakikat ialah buah dari tarikat itu sendiri.
1 Surah Al-Bayyinah ayat. 5
2 Ulama Tasawuf pada abad 3 hijriah
3Imam Nawawi al-Jawi menerangkan bahwa syariat itu ibarat kapal laut yang dengannya bisa mencapai sebuah makasud tujuan dan keselamatan dari kebinasaan (tenggelam), sedangakan tarikat ialah seperti lautan yang di dalam lautan itu ada negeri tempat tujuan seperti tempat mutiara yang mahal. Tidak akan menemukan mutiara kecuali adanya hanya di lautan, dan tidak akan mencai lautan melainkan harus dengan bahtera (kapal laut).
4 Berkata al-Qusyairi: Wara’ adalah meninggalkan yang subhat samar-samar halal haramnya, al-Ghazali berkata: Wara’ adalah ada empat tingkatan, tingkat terendahnya adalah Wara’ adil yaitu meninggalkan setiap apa yang diharamkan melaui fatwa ulama fikih, yang mencakup seperti riba, muamalah yang merugikan, yang kedua ialah Wara’ Shalihin, yaitu meninggalkan perkara subhat, dan yang ketiga ialah Wara’ Muttaqin, yaitu meninggalkan hal yang tak bermudharat, karena takut ada mudharat, “Umar berkata: kita menghindari 17 perkara yang halal karena takut terjerumus kedalam keharaman”, yang keempat adalah Wara’ al-Shadiqin, yaitu meninggalkan sesuatu yang terlepas dari kelalaian.
5Artinya: “merupakan sebuah tanda islam seseorang itu telah bagus, ia mampu meinggalkan apa yang tidak ada gunanya”
6megah, indah, berharga itu hanyalah Allah S.W.T, wallahu ‘alam bil murod.
7 Imam Nawawi al-jawi menyatakan bahwa barangsiapa yang mecari mutiara tanpa melalui pelayaran dengan kapal (bahtera) dahulu, ia tidak akan mungkin mendapatkan mutiara tersebut, dalam hal ini kapal adalah syariat.
8 Imam Nawawi al-Jawi menyatakan bahwa hati itu ibarat raja, dan jasad serta segala anggota tubuh ibarat rakyatnya, hati ibarat bumi dan gerakan jasad adalah tumbuhan dan mata air serta kebun-kebun.

Selasa, 12 Februari 2013

Berikut adalah pertandingan yang bakal berlangsung malam dan dinihari nanti:

Real Madrid vs Getafe

Rayo Vallecano vs Real Betis

Barcelona vs Osasuna

Athletic Bilbao vs Atletico Madrid

Mallorca vs Malaga